Selasa, 16 Februari 2010

Dominasi (tidak dominasi) Suami Atas Istri

Semalam ada sedikit kesalahpahaman antara aku dan istriku, persoalan yang biasa dialami oleh semua pasangan suami istri yaitu egoisme masing-masing dan merasa diri paling benar. Dan seperti biasanya semua dapat kita selesaikan dan kita jalani sisa malam bersama.  Tetapi ada hikmah yang luar biasa yang aku ambil dari pembicaraan kami. Pembicaraan kami sempat menyinggung tentang proporsi dan dominasi suami terhadap istri dalam sebuah rumah tangga.  Suami adalah imam dalam keluarga, jadi dialah pemimpin yang bertanggung jawab terhadap arah jalan keluarga yang kami analogikan sebagai sebuah kereta api yang mana dialah masinis kepala yang bersama istri mengendalikan jalannya lokomotif yang membawa gerbong dengan nama anak-anak.  Keyakinan, tekad, dan visi itulah relnya, yang mana harus terus sejalan, searah sampai diujung pemberhentian terakhir kereta tersebut.  Yang sering terjadi persoalan ada di lokomotif, disanalah dibutuhkan kebijakan dalam berbagi peran antara suami dan istri.  Dalam budaya kita yang patriarki dimana dominasi suami terhadap istri dalam rumah tangga sering memunculkan arogansi dari para suami.

Bentuk kekuasaan lelaki atas perempuan dalam rumah tangga yang  mendapat pembenaran dari adat masyarakat kita yang menempatkan suami superior dan harus mendapatkan tempat yang lebih bahkan terkadang berlebihan.  Sehingga menjadi sebuah hal yang aneh, melawan kebiasaan, dan dianggap tidak pantas ketika ada seorang suami terlihat 'loyo' dan tidak perkasa dihadapan istrinya.  Reaksi yang muncul dari masyarakat termasuk juga para perempuannya sendiri beraneka macam dari sekedar bisik-bisik tetangga, menasehatinya bahkan sampai mencemoohnya.  Label 'suami takut istri' menjadi menjadi bahan olokan kaum suami kepadanya ketika mereka berkumpul.  Istri juga akan mendapatkan label istri tak tau diri, istri durhaka, istri tegaan,.....dan lain sebagainya yang tentunya akan sangat menggangu hubungan keluarga dalam masyarakat.  Tidak bisa dikatakan yang benar dan salah ketika dalam memandangnya hanya di permukaannya saja tanpa mengetahui yang sebenarnya terjadi dalam sebuah rumah tangga.  Sebagai istri yang baik tidak seharusnya membuat suami yang disayanginya menjadi tampak rendah dimata orang lain, istri hukumnya wajib menjaga harga diri dan kehormatan suaminya.  Istri dalam pandangan Islam adalah sosok wanita yang wajib patuh pada suaminya. Ia mendapat kepercayaan untuk melaksanakan kewajiban melayani suami dalam segala kebutuhanya, mulai kebutuhan jasmani seperti memasak, mencuci dan menjaga kerapihan rumah, memanajemen uang suami, menjaga dan mengurus anak-anak, atau kebutuhan rohani seperti mencintai, setia, menghibur dikala suami sedang susah, menerima seberapapun penghasilan suami, mendukung pekerjaan suami dan selalu memberi semangat, bersikap lemah lembut dengan segala kasih sayangnya, dan tidak pernah membantah semua keinginan suami selama ia bisa mengerjakannya. Apapun yang dilakukan hanya semata-mata untuk kebahagiaan suami dan keluarganya. Seperti dijelaskan dalam surat An-Nisa Ayat 34
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihikan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri( maksudnya tidak berlaku serong atau pun curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya) ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara


Rosûlulloh juga mempertegas hak suami atas istrinya seraya bersabda :
“Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada seseorang, niscaya aku perintahkan wanita bersujud kepada suaminya, karena hak suami atas istrinya adalah prioritas.” 



walau dalam Islam seorang suami mendapatkan porsi yang lebih dari istri , bersama itu juga diikuti tanggung-jawab yang berat dalam membawa istri dan keturunannya ke jalan yang di ridhoi Allah. Suami memberi nafkah keluarga agar terpenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan, membantu peran istri dalam mengurus anak, menjadi pemimpin, pembimbing dan pemelihara keluarga dengan penuh tanggung jawab demi kelangsungan dan kesejahteraan keluarga. Siaga / Siap antar jaga ketika istri sedang mengandung / hamil. Menyelesaikan masalah dengan bijaksana dan tidak sewenang-wenang, Memberi kebebasan berpikir dan bertindak pada istri sesuai ajaran agama agar tidak menderita lahir dan batin.
Aku dan istri sepakat dalam memandang seorang suami loyo dan tidak loyo dihadapan istri tentu kita harus melihat lebih dalam yang terjadi. Ketika seorang suami tampak lemah tentu berbeda dengan suami yang melemahkan diri. Menurut istriku, suami yang tampak lemah itu terkadang adalah suami yang kuat dan lebih kuat dari mereka yang merasa suami yang kuat....alasannya adalah untuk bisa menekan harga diri dan keegoisan 'lelaki'nya demi kebahagiaan dan keutuhan keluarga diperlukan lelaki yang kuat, dan lelaki yang lemah adalah lelaki yang sembunyi di balik keegoisannya.
Tapi menurutku diantara suami istri diperlukan saling pengertian dan kesadaran, atas nama keyakinan agamanya dan atas nama cinta haruslah menjadi ruh perkawinan yaitu menempatkan pasangan kita ditempat yang paling terhormat.  dengan begitu tentunya akan menciptakan kebanggaan dalam diri anak-anak terhadap orang tua mereka.
Akhirnya kami berdua mengakhiri perdebatan dengan meninggalkan pertanyaan mengelitik dihatiku, Loyo atau kuatkah aku? 

0 komentar:

Posting Komentar